Kamis, 15 Mei 2008

cerita anak

Teringatlah saya pada David McClelland. Atas biaya CIA- lembaga intelijen Amerika- McClelland melakukan penelitian untuk mengetahui semangat kewirausahaan masyarakat berbagai bangsa. McClelland kemudian menyimpulkan bahwa semangat wirausaha sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk berpestrasi (need for achievement). Dari mana kebutuhan untuk berpestrasi ini sangat mempengaruhi jiwa?? McClelland menunjuk pada cerita anak. Keyakinan ini didasarkan pada hasil analisis proyektif cerita anak dari bangsa-bangsa yang ditelitinya.

Meskipun pendidikan di perguruan tinggi juga berpengaruh pada pengetahuan dan wawasan seseorang, namun pengaruh yang paling kuat adalah cerita masa kecil. Cerita anak- termasuk film- sangat membekas dalam jiwa mereka dan mengakar pada pikiran mereka. Termasuk saya, ketika kecil sebelum tidur ayah saya selalu menceritakan kisah-kisah menarik. Yang masih saya ingat sampai sekarang adalah Kancil Nyolong Timun, Bawang putih, bawang merah, dan lain-lain.”

Anak-anak sekarang lebih suka duduk di depan televisi. Orang tuanya mendampingi di sebelahnya, bahkan kadang malah ikut memelototi dan berebut acara apa yang mau ditonton. Ketika anak dan orang tua duduk bersama di hadapan televisi, mereka tidak menjalin komunikasi, mereka hanya melakukan aktivitas bersama, yaitu nonton TV. Dan akibatnya, jangan salahkan anak ketika anak susah diajak bicara, sulit terbuka, atau tidak mau nurut kepada orang tuanya. Bahkan meminta sesuatu yang tidak sewajarnya, di luar kemampuan orang tua. Dan bahkan melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilakukan di televisi.

Kalau dulu, di rumah saya, setiap bakda maghrib TV tidak boleh dinyalakan sama sekali. Semua harus melakukan ibadah, entah sholat, berdoa, ngaji, belajar atau makan bersama. Tapi sekarang, menjelang maghrib, TV belum juga dimatikan. Setelah maghrib kalaupun makan bersama, teman kami juga TV. Terkadang saya ngeyel dan beradu pendapat untuk mematikan TV. Tujuan kita kumpul, makan bareng itu biar bisa saling komunikasi, cerita dan berbagi, kok malah memelototi TV??

Apa yang terjadi jika yang ditonton anak-anak kecil adalah acara-acara yang tidak mendidik?? Adegan-adegan ‘berbahaya’, sehingga otak mereka teracuni. Acara-acara yang membuat jiwa mereka kerdil, tidak percaya diri dan lebih mencintai dunia dari pada akhiratnya.

Ah...tanpa sadar kita telah dipengaruhi oleh benda ajaib bernama Televisi. Kita menjadi budak-budak televisi…Termasuk yang sedang nulis. Semoga kita segera instrospeksi diri.

Cerita. Orang cenderung akan senang dengan cerita. Tanpa menasehati, tanpa menyuruh tapi pesan itu sampai kepada orang yang mendengar atau membaca cerita. Orang dapat mengambil hikmahnya dengan mudah tanpa kesan menggurui. Bukankah 1/3 Al Quran adalah cerita??

Tak terkecuali dengan anak-anak. Adek-adek TPA di kampungku sangat senang jika saya mulai cerita. Sederhana saja. Tapi setiap kali saya mengajar yang mereka minta adalah cerita. Alangkah besar peluang ini. Saya ingin menyampaikan cerita yang bisa menanamkan kepahaman agama. Cerita yang membuat mereka mengenal Tuhannya. Cerita yang mampu menggerakkan jiwa mereka. Cerita-cerita yang bergizi, memberi nutrisi otak-otak mereka. Cerita yang mampu membuat semangatnya menyala-nyala.

Dengan begitu, mereka menjadi anak yang kuat karakternya dan kukuh imannya. Sehingga, anak-anak –ketika remaja- tak lagi gagap dalam menerima informasi di sekelilingnya. Tak lagi menganggap masa remaja sebagai pencarian jati diri. Sehingga, terkadang semua hal dilakukannya dengan alasan mencari jati diri.

Saya sangat ‘gemez’ dengan anak-anak di sekeliling rumah saya. Ada banyak anak kecil yang usaianya sekitar 4-12 tahun. Bahkan yang bayi juga ada. Yang SMP saya pernah list, ternyata ada 26 anak laki-laki dan perempuan. Belum yang SMA, dan yang lulus SMA.

Kembali ke anak-anak usia 4-12 tahun. Kadang, saya iseng menghitung berapa kali mereka ke warung untuk jajan, karena jalan ke warung lewat depan rumahku. Kira-kira setiap anak dalam sehari jajan sebanyak tiga kali. Sebut saja setiap kali jajan, mereka menghabiskan uang 500 rupiah. Dalam sehari habis berapa ya?? Dalam satu bulan?? Dan dalam satu tahun?? Itu untuk satu anak saja.

Terkadang terlintas dalam pikiran untuk mengumpulkan ibu-ibu mereka dan berbagi tentang pentingnya mendidik anak. Bukan karena saya lebih pinter, tapi apa salah ketika kita sungguh-sungguh mendidik anak?? Atau uang yang mereka gunakan itu dapat dibelikan buku-buku cerita anak yang menggugah jiwa mereka. Dibuat perpustakaan kecil dan orang tua mendukungnya. Semoga ini bisa terlaksana.

Umat Islam ini tidak kurang cerita. Di dalam Al Quran saja buanyakkk banget, belum hadist, belum sirah dll. Ada banyak hal yang bisa diceritakan. Kreatif-kreatif kita aja yang menyampaikan. Bayangkan jika sejak kecil mereka mendapat cerita tentang tokoh-tokoh Islam. Ali bin Abi Tholib, Khalid bin Walid, Bilal bin Rabbah dll. Atau mereka medengar cerita tentang semangat jihad Shalahudin Al ayyubi, Muhammad Al Fatih, Izzudin Al Qosam, atau Syaikh Ahmad Yasin. Atau kisah Nabi dan Rosul. Dan tak kalah penting adalah cerita tentang ilmuwan Islam, Ibnu Sina, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Nafis, Ibnu Batutah, Al Khawarizmi, dll…Luar biasa…Sehingga ketika menginjak remaja mereka tidak lebih mengenal Che Guevara dari pada tokoh Islam yang telah ada.

Saya rasa, kita harus aktif untuk mengenalkan mereka kepada tokoh-tokoh Islam itu. Dari pada mereka lebih asyik menirukan gaya Sincan, Spong Bob atau yang lainnya, jauh lebih baik mereka kita beri asupan-asupan gizi untuk jiwa dan karakternya. Jika punya adek atau bayi, perhatikan betul perkembangannya. Sehingga minimal mereka lebih baik dari kita. Atau mereka menjadi seperti generasi-generasi Islam sebelum kita.

Tidak ada komentar:

Artikel Lain