Kamis, 15 Mei 2008

Madrasah pertama

Akhir-akhir ini saya seneng banget mengamati masalah parenting. Mendidik, mengasuh dan membesarkan anak. Awalnya cuma membaca dan akhirnya tertarik ke bagian itu. Aku mengamati kehidupan dan pola pengasuhan anak di lingkunganku, semakin besar keinginan untuk turut serta dalam pendidikan anak. Minimal lewat TPA.

Teringatlah saya dengan sebuah perkataan dari Buckminster Fuller. Dia mengingatkan kepada kita, “Setiap anak terlahir genius, tetapi kita memupuskan kegeniusan mereka dalam enam bulan pertama.”

Ya, setiap anak yang terlahir di dunia, dalam keadaan normal tentunya dibekali oleh Allah dengan kemampuan otak yang luar biasa. Semangat belajar yang menyala-nyala, antusiasme yang besar, percaya diri tinggi dan tak takut mencoba hal-hal baru. Tetapi terkadang orang tuanya lah yang membuat anak itu tidak cerdas. Lingkunganlah yang membuat anak itu menjadi anak yang tidak percaya diri, lemah iman dan tidak bersemangat dalam hidupnya.

Al Umm madrasah al ûlâ. Bukankah ibu adalah madrasah yang pertama bagi anak-anaknya?? Bukankah keluarga adalah sekolah yang yang pertama?? Mengenai hal ini, saya teringat dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Dr. Michael Lewis, spesialis perkembangan anak dalam ceramah utama pertemuan tahunan American Academi of Pediatrics, tahun 1986. setelah meninjau ulang tentang faktor-faktor yang mencerdaskan bayi, beliau menyimpulkan bahwa satu-satunya pengaruh yang paling penting dalam perkembangan intelektual anak adalah sikap resonsif pengasuh pada isyarat bayi. Artinya, bukan barang-barang mahal atau mainan-mainan canggih yang berperan besar dalam perkembangan anak, tapi hubungan orang tua kepada anak-anaknya. Dan hal itu sudah lama banget dibahas dalam Islam. Saya ulangi lagi, al-umm madrasah al ûlâ.

Di dalam hadist juga disampaikan tentang peran kedua orang tua anak tentang keimanan. Kurang lebih isi hadistnya begini. “Setiap bayi lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menajdikan dia beragama Yahudi, nasrani ataupun Majusi.” Betapa adilnya Islam ini ya.

Sekali lagi, masalah hubungan orang tua kepada anak sangat menentukan masa depan si anak. Nah, terkadang, saya mengamati, banyak orang tua yang ‘menitipkan’ anaknya di sekolah. Membayar mahal lembaga pendidikan tertentu dan kemudian lepas dari peran pengasuhan anak. Padahal, keberhasilan pendidikan anakitu tidak hanya di sekolah saja, namun orang tua juga sangat berperan, bahkan lebih besar. Ya Allah berilah hamba kemampuan untuk mendidik anak-anak sesuai syariatmu. Sehinga mereka menjadi generasi yang selalu meninggikan kalimatmu kelak…

Ketika kecil, tanggapan-tanggapan positif dari orang tua sangatlah banyak. Kalaupun kita salah melakukan sesuatu, orang tua dengan sabar mengingatkan dan memberi tahu yang benar. Ketika usia mulai beranjak dewasa, komentar positif itu mulai berkurang. Penghargaan mulai jarang didengar. Yang ada hanyalah kesalahan-kesalahan. Seolah-olah, anak di mata orang tua tidak ada yang benar. Meski hal ini tidak berlaku untuk semua orang tua. Termasuk juga saya, saya lebih sering mengatakan kata-kata dengan keras dengan adek-adek saya. Padahal dulu sewaktu mereka kecil, saya lebih banyak mengatakan kata-kata yang lebih santun. Saya sendiri kurang tahu apa sebabnya, seolah hal itu ada dengan sendirinya. Tanpa sadar dan alami. Saya bisa sangat sabar bermain dan mengajari anak-anak, tapi saya akan sangat tidak sabar ketika berhadapan dengan orang yang lebih dewasa. Kata-kata lebih kasar, sikap yang tidak lagi antusias dan lainnya. Mungkin antum juga ya??

Setiap anak dilahirkan genius. Sayang sekali jika hal ini kita lewatkan begitu saja. Otak anak-anak yang luar biasa itu harus dikembangkan potensinya. Menurut penelitian lagi, IQ seorang anak itu berkembang antara usia 0-12 tahun. Setelah itu akan terhenti. Usia 0-6 tahun perkembangan IQ anak mencapai 90%, sedangkan usia 6-12 tahun hanya 10% saja. Berbeda dengan kita, orang dewasa, usaha kita yang sungguh-sungguh memang membuat cerdas, namun IQ kita tidak berkembang lagi.

Saya punya keinginan banyak banget tentang pendidikan anak. Terbesit ingin membuat perpustakaan atau taman bacaan bagi adek-adek di sekitar rumah. Seperti yang saya tulis dalam artikel sebelumnya. Atau membuat sanggar belajar, tiap sore bakda maghrib sampai bakda isya. Sepekan 3 kali saja. Nanti yang sekali digunakan untuk ngaji bersama. Nanti orang tua mereka juga akan saya kumpulkan, sharing tentang pendidikan dan perkembanga anak-anak mereka. Kan asyik to?? Tiap hari bisa bermain dengan anak-anak dan yang penting lagi mencetak generasi yang akan meninggikan kalimat Allah di muka bumi.

Mungkin ke depan bisa saja keinginan saya itu terwujud. Saya sadar, untuk mewujudkan itu butuh tahapan-tahapan yang jelas. Akan kumulai dari TPA. Saat ini, TPA saja belum berez, kok mau membuat lompatan-lompatan besar. Anak, orang tua, lingkunga harus disiapkan terlebih dahulu, baru yang lain nantinya pasti akan mudah digerakkan. Alih-alih belajar mendidik anak dari sekarang. Mumpung masih bisa belajar, he he.

Tidak ada komentar:

Artikel Lain