Ini adalah latihan menulisku. Kalau ada saran, mohon disampaikan demi kebaikan kita bersama. Agar saya dapat belajar dari Anda.
Kita semua mengetahui bahwa shalat tahajud itu adalah shalat sunnah yang utama. Tetapi, setiap malam tatkala mata telah terpejam, berat rasanya beranjak dari pembaringan. Meski bunyi alarm telah berulang kali mencoba membangunkan kita. Memang, kita membuka mata, tangan meraba-raba mencari sumber suara dan kemudian, mencari tombol untuk mematikannya. Setiap kali berbunyi, kita dengan cepat menekan tombol off-nya. Dan tetap saja, kita tak beranjak dari tempat tidur.
Kita sudah sangat paham bahwa membaca Al Qur’an itu berpahala. Bahkan pahala itu bisa berlipat ganda. Terutama bagi yang masih terbata-bata membaca dan bersungguh-sungguh untuk bisa. Mendengar bacaan ayat suci itu akan dicatat pula sebagai kebaikan. Tetapi, kita masih juga beralasan ‘sibuk’ dan mengatakan, “Ah, waktu untuk baca Al Qur’an dah ga ada, mau gimana lagi!” Atau kita masih juga sering mendengar senandung cinta tak bermakna yang melemahkan jiwa.
Ya, kita semua mengetahui bahwa semua itu adalah kebaikan. Jujur itu baik. Tepat waktu itu baik. Belajar itu baik. Membaca itu baik. Menghafal Al Qur’an itu baik. Tahajud itu baik. Puasa sunnah itu baik. Bersedekah itu baik. Dan masih banyak kebaikan yang kita ketahui.
Kita juga tahu, bohong itu dosa. Mengikuti hawa nafsu itu perbuatan syaitan. Mengumbar pandangan itu maksiat. Tidak taat pada Allah itu dilarang. Dan perbuatan tak baik lainnya kita telah mengetahuinya. Ya…kita tahu semua itu.
Tapi, tahu saja tidak cukup. Masih harus paham. Dan paham saja tidak cukup. Kita harus mengaplikasikannya. Dalam bahasa Islam disebut amal. Ya…mengamalkannya. Itulah yang seharusnya kita lakukan. Tak perlu menunggu nanti. Sekarang juga. Tak usah berharap banyak pada manusia lainnya. Kitalah yang akan memulainya. Dan tak usah berfikir terlalu rumit untuk mengerjakannya. Mulailah dari yang sederhana.
Mari belajar pada sahabat. Abu Dzar Al Ghifari namanya. Ia dari Bani Ghifar. Sebuah suku yang terkenal dalam melakukan perjalanan jauh. Padang pasir yang luas, malam yang gelap gulita dan hujan badai yang menciutkan nyali tak ada artinya bagi Bani Ghifar. Semua akan dilewatinya tanpa rasa takut. Dan celakalah orang yang tersesat sampai kepada Bani Ghifar.
Abu Dzar. Dia memasuki kota Mekkah dengan sembunyi-sembunyi. Mencuri dengar kepada penduduk Mekkah mengenai manusia yang dicarinya. Muhammad namanya. Kalau saja dia jujur mengutarakan maksudnya, tentu orang Mekkah akan memukulinya. Tak perlu waktu lama untuk menemukan Muhammad. Langsung dia menemui Rosulullah dan menyampaikan apa yang diinginkannya. Tak perlu menunggu lama, Abu Dzar menyatakan ke-Islamannya.
“Wahai Rosulullah, apa yang harus saya lakukan menurut Anda?” tanya Abu Dzar.
“Kembalilah kepada kamummu sampai ada perintahku nanti!” jawab Rosulullah.
Saran tersebut diabaikan oleh Abu Dzar, dia pun berujar, “Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di masjid!”
Ya…memang begitulah wataknya. Ia tak rela melihat kebathilan dan penyembahan berhala. Seperti yang diungkapkannya, dia pun pergi ke Masjidil Haram dan mengucapkan syahadat di tempat itu. Tahukah engkau apa yang terjadi?? Abu Dzar dipukuli habis-habisan sehingga tak sadarkan diri. Sampai kemudian datanglah Abbas, paman nabi. “Wahai kaum Quraisy! Kalian semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Dan orang ini adalah salah seorang warganya. Bila ia sampai menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu nanti, apa yang bisa kalian lakukan?” Mendengar ucapan Abbas, orang-orang yang memukuli Abu Dzar berhenti juga.
Hal seperti itu diulangi dua kali. Yang kedua, Abu Dzar memaki berhala yang sedang disembah oleh dua wanita Quraisy. Kedua wanita tersebut bertariak sejadi-jadinya. Berkumpullah orang yang ada di sekelilingnya, memukuli sampai Abu Dzar tak sadarkan diri. Benar-benar berani.
Setelah penderitaan dalam berdakwah di jalan Allah dirasakannya, barulah dia kembali ke sukunya. Tak perlu waktu lama, seluruh kaumnya memeluk Islam. Dan dia pun berdakwah kepada suku Aslam. Mereka semua pun masuk Islam. Allahu Akbar…Begitu mendapat pelajaran dari Rosulullah, langsung dia amalkan. Dia sampaikan kepada manusia lainnya.
Kenapa ada orang yang sudah paham tapi tidak juga mengamalkannya?? Rhenald Kasali menuliskan bahwa semua itu disebabkan karena action orientednya lemah. Semangat untuk segera beraksi kecil. Karena memang meninggalkan kebiasaan lama itu tak mudah. Tak nyaman. Perubahan memang tak nikmat dan tak nyaman. Perlu waktu untuk adaptasi. Tapi, kalau tidak sekarang, kapan lagi??
Kalau telah bertekad untuk berubah menjadi lebih baik. Kalau telah berazzam untuk beramal dengan istiqomah. Sudah saatnya untuk mempertebal komitmen kita. Ya…komitmen itu nantinya akan diuji. Tantangan itu akan selalu datang. Maka, terus berkomitmenlah pada diri sendiri agar tetap istiqomah dalam kebaikan-kebaikan yang dilakukan.
Dalam meningkatkan komitmen itu diperlukan disiplin. Disiplin terhadap waktu, disiplin terhadap proses, disiplin kualitas, disiplin hubungan/komunikasi dan disiplin hasil. Kita belajar untuk tepat waktu, meski terkadang masih sering juga terlambat. Atau terkadang teman-teman kita tak mendukungnya. Kita harus menyadari bahwa semua itu adalah proses untuk tetap istiqomah. Tak hanya terpenuhi target-target yang telah direncanakan, tapi kualitasnya harus dijaga. Komunikasi dengan orang-orang di sekeliling kita tetap terjalin baik dan kita berdoa agar hasilnya pun optimal.
Banyak perusahaan yang punya budaya, beberapa memiliki disiplin. Tetapi, sedikit yang memiliki budaya disiplin. Dalam aksi-aksi yang kita lakukan. Dalam amal-amal yang kita kerjakan. Tetaplah berdisiplin terhadap diri sendiri dan jadikanlah budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar