Minggu, 18 September 2011

Sudah Siapkah??

Tiba-tiba di Minggu pagi yang mendung, 18 September 2011, aku teringat dengan beberapa kejadian yang semakin menguatkan keyakinanku pada Tuhan Seluruh Alam. Kisah-kisah ini tentang teman-temanku yang sudah mendahului dipanggil oleh Allah. Usianya masih muda, tapi Allah menghendakinya tak berusia lama. Semoga diterima setiap amal mereka. Aamiin. Langsung saja ya, silahkan nikmati sajian ini.

Cerita pertama...
Semenjak SMP aku sudah berkeinginan untuk melanjutkan ke SMA di Kota Jogja. Melihat nilai ujian nasional waktu itu, saya memutuskan untuk mendaftar di sebuah SMA yang tidak terlalu favorit, tidak pula terlalu rendahan di Jogja, ya tengah-tengah lah. Saya mendaftar dan diterima di SMA 9 Jogja. Alhamdulillah ya...Awalnya saya sangat senang karena dari luar sekolah, gedungnya nampak sangar, luas, wah dan keren abizz pokoknya. Setelah saya masuk ke dalamnya dan jalan-jalan berkeliling, TERNYATA...krik..krik...krik..(luas bangunannya tidak seberapa). Seluruh sekolah bisa dikelilingi dalam waktu 3 menit saja. Sangat sempit. Sekolah kotak sabun..heee. Soal SMA ku yang unik itu kapan-kapan semoga saya bisa menuliskannya tersendiri. Saya ingin cerita yang berbeda. Awalnya semua berjalan normal. Tiga bulan bersekolah, tepatnya 21 September 2002, saya dikagetkan dengan seorang teman sekelas saya yang telah dipanggil oleh Allah. Dikarenakan suatu sebab, dia meninggal. Orangnya pendiam, baik, dan pernah beberapa kali satu meja dengan saya. Waktu itu saya belum terlalu memikirkan soal kematiannya, hanya sekilas saja. Meski begitu, saya merinding. Masih muda, teman satu kelas, usia sebaya. Pagi hari masih upacara bersama, sore hari sudah tiada. Terbersit dalam pikiran, “Kapan giliran saya??” Merinding juga saya...Oleh ibu guru Bahasa Indonesia kami yang baik dan lemah lembut, sekaligus Wali Kelas kami, Bu Yayuk (panggilan akrab), kami disuruh membuat puisi. Karya kami itu dibukukan dan berjudul “Puisi Untuk Andhika”.

Cerita kedua...
Ujian Nasional tinggal menghitung hari. Pagi itu tanggal 9 Maret 2005. Sebagaimana biasanya, jamanku SMA 9 kalau olah raga pagi hari jam 5.30 - 07.00 WIBB (Waktu Indonesia Barat Beriman). Maklum, ga punya lapangan untuk olah raga. Meski sepagi itu, kami sangat senang, terutama aku. Lebih baik begitu dari pada olah raga jam 07.00 (masih pake ngaret lagi). Pagi itu kami olah raga di sekolah. Nah, malemnya ada pertandingan Liga Champion. Sambil main bola di lapangan parkir depan mushola tercinta, saya membicarakan hasilnya bersama Budi. Tidak menyangka bahwa itu pertemuan terakhir saya dengannya (deg…). Setelah olah raga, dia pulang dan berangkat diantar oleh ayahnya. Mulanya Budi hendak diantar menggunakan mobil, entah kenapa jadinya naik motor, dibonceng oleh sang ayah. Di jalan Kaliurang, kurang lebih km 5,6, motor yang dikendarai mereka terpleset, jatuh dan Budi terlindas sebuah truk. Seketika meninggal. Ketika berita itu terdengar, saya kurang percaya, paginya saya ngobrol hangat, main bola bersama, jam 09.00 berita duka sampai di telinga. Barulah setelah Bu Rita (guru Biologi) menangis, saya percaya berita itu benar. Iya, Budi anak yang mengikuti Olimpiade Biologi, makanya Bu Rita dekat, karena bimbingannya. Ya Allah, saya termasuk orang yang dekat dengan Budi. Satu bangku dengannya pernah, maen ke rumahnya pernah, berangkat dan pulang sekolah bersama hal biasa, ke mushola sholat dhuha sering, belajar bersama tak terhitung jumlahnya. Kata Dani temenku, “Rif, kadang orang baik itu meninggal cepet ya.” Aku tak terlalu menanggapinya, pikiranku masih belum jernih sepenuhnya. Hari itu, aku banyak diam. Sejak mendengar beritu itu sampai pemakamannya. Ketika mensholatkan, mataku berkaca-kaca. Selesai sholat jenazah, kulihat wajahnya, sambil bertanya, “Ya Allah, Kapan giliran saya? Semoga nyawa hamba dicabut dalam kondisi yang siap dan terbaik.”

Cerita ketiga...
Kejadian ini di kampungku. Namanya mas Woko. Orangnya baik, halus dalam tutur kata, masih muda, belum menikah dan pandai bergaul. Selepas isya, mas Moko masih berkumpul dengan teman-teman di kampung. Jam 21.00 an, dia merasa sakit, ga enak badan. Maka, dia pulang lebih awal. Tengah malam, dia dibawa ke Rumah Sakit di Pakem, Sleman. Dini hari sudah tiada. Sangat cepat, tanpa tanda-tanda. Saya termasuk orang yang turut membantu prosesi memandikan. Tak sedikit orang yang dekat, keluarga, teman-teman yang menangis malam itu. Lagi-lagi, saya diingatkan oleh Allah, bahwa kematian bisa menimpa siapa saja.

Cerita keempat...
Kami sering memanggilnya Lek Min. Sudah sepuh memang. Suatu pagi, beliau berangkat ke sawah. Tiba-tiba siang hari terdengar kabar bahwa beliau telah meninggal. Tak ada yang tahu sebab pastinya. Dokter yang memeriksanya pun tak tahu pasti. Tak ada yang menyangka. Kejadian Lek Min dan Mas Moko ini seingetku berdekatan waktunya.

Cerita kelima...
Dia dulu ketika SMA aktif di Rohis sekolah. Kelas satu, aku satu kelas dengannya. Namanya Dian. Ini juga tidak terduga. Ketika saya mengerjakan skripsi, penelitian di lab, tiba-tiba ada sms masuk bahwa Dian telah meninggal. Saya lupa sebabnya, tapi yang jelas, saya masih ingat betul bagaimana Dian yang baik, ramah dan antusias itu ketika berbicara. Usia sebaya, satu kelas, satu organisasi, satu aktivitas. Ya Allah, cepat sekali Engkau memanggilnya.

*************

Masih banyak cerita serupa di sekitar kita. Yang jelas, pelajaran apa yang bisa diambil dari sana. Setiap ada orang meninggal saya sendiri merasa diingatkan oleh Allah, bahwa saya pasti meninggal. Dunia ini sementara. Kaya itu sementara, pintar itu sementara, terkenal itu sementara, miskin itu sementara, sehat itu sementara, sakit itu sementara, cantik itu sementara, cakep itu sementara, kuasa itu sementara. Yang ada di dunia ini sementara. Akhirat lah yang selamanya, abadi, kekal.

Tak ada yang mampu menyelamatkan kita kecuali iman, amal kebaikan dan ketakwaan. Mari perbanyak amal, tebarkan ilmu dan kebaikan, sedekah jariyah, dan amar makruf nahi munkar. Di mata Allah, tak ada yang luput. Yang kecil bisa bernilai besar.

Aku hanya manusia yang ingin menjadi baik. Meski kebaikan yang kulakukan kecil dan sederhana. Jauh dibandingkan para ulama. Belum ada seujung kukunya. Tapi aku yakin, Allah mboten sare. Allah Maha Tahu. Aku takut, namun tetap berharap. Terus beramal. Dan terus bertanya, “Kalau Allah menjemput nyawaku, Sudah Siapkah?”

Twitter:@arifjadmiko

2 komentar:

althafun_nisa91 mengatakan...

Masa depan adalah kepastian yang sudah pasti.. Namun Kematian adalah kepastian yang tidak pasti. So, siapkan segalanya yang baik dari diri kita agar kepastian dan ketidakpastian itu menjemput dengan keadaan yang baik.

althafun_nisa91 mengatakan...

Masa depan adalah kepastian yang sudah pasti... Namun Kematian adalah kepastian yang tidak pasti. So, siapkan segala hal yang baik dari diri kita agar kepastian dan ketidakpastian menjemput dengan keadaan yang baik.

Artikel Lain